Dracin Populer: Saat Aku Tersenyum, Ia Tak Tahu Itu Pamit

Saat Aku Tersenyum, Ia Tak Tahu Itu Pamit

Kuntum melati merekah di taman belakang rumah, aromanya menenangkan sekaligus menyesakkan. Di sanalah, di bawah pohon sakura yang selalu berbunga sepanjang musim, kami tumbuh bersama. Aku, Lin Wei, dan dia, Zhang Jun. Saudara? Teman? Lebih dari itu. Kami adalah dua sisi koin yang sama, terikat janji di bawah langit Shanghai yang kelabu.

"Wei, lihat!" Zhang Jun akan menunjuk ke bintang jatuh, matanya berbinar penuh mimpi. "Kelak, kita akan taklukkan dunia bersama."

Aku hanya tersenyum, menyembunyikan rasa pahit di balik kelopak mata. Karena aku tahu, dunia yang ia impikan itu, dunia yang kami sepakati untuk dibangun, berlandaskan pada RAHASIA. Rahasia yang hanya aku yang tahu, dan rahasia itu seperti duri yang terus menusuk jantungku.

Jun selalu sempurna. Tampan, cerdas, karismatik. Ia adalah matahari, dan aku hanyalah rembulan yang memantulkan cahayanya. Aku senang menjadi rembulannya. Aku bahagia melihatnya bersinar. Tapi, kebahagiaan itu dibangun di atas kebohongan.

Dulu, ayah Jun berjanji pada ayahku untuk menggabungkan bisnis keluarga. Pernikahan kami berdua adalah kuncinya. Namun, ada WARISAN yang jauh lebih berharga yang disembunyikan ayahku, sebuah artefak kuno yang bernilai sangat tinggi. Ayah Jun menginginkannya, dan ia tahu hanya aku yang tahu lokasinya.

"Wei, kau tahu aku menyayangimu, kan?" Jun pernah berbisik di telingaku, suaranya lembut bagai beludru. "Percayalah padaku. Kita akan selalu bersama."

Kata-kata itu seperti pedang bermata dua. Aku ingin percaya. Aku sangat ingin percaya. Tapi, di matanya, aku melihat bayangan kalkulasi, perhitungan dingin yang membuatku merinding.

Waktu berlalu. Kekuatan Jun semakin besar. Ia berhasil menduduki posisi penting di perusahaan. Aku, di sisi lain, semakin terperosok dalam kesunyian. Aku tahu ia mendekat. Aku bisa merasakan jaring yang ia rajut semakin mengikatku.

Malam itu, di balkon apartemen kami yang mewah, aku menyerahkan artefak itu padanya. Ia tersenyum, senyum yang tidak pernah kuraih sebelumnya.

"Terima kasih, Wei. Kau selalu menjadi sahabat terbaikku."

Di balik senyum itu, aku melihat KEBOHONGAN. Aku melihat PENGKHIANATAN.

"Jun, kau tahu kenapa aku selalu tersenyum?" Aku bertanya, suaraku tenang meski hatiku hancur berkeping-keping. "Karena setiap kali aku tersenyum padamu, aku sedang mengucapkan selamat tinggal."

Wajahnya pucat pasi. Ia tahu. Ia akhirnya tahu. Bahwa selama ini, aku mempersiapkan diri untuk ini. Aku sudah merencanakan balas dendam yang manis, dingin, dan sempurna. Warisan itu palsu. Asli nya sudah aku sembunyikan. Dan informasi yang ku berikan pada nya palsu juga. Hanya kebingungan yang dia dapatkan.

"Aku sudah lama tahu tentang rencana ayahmu. Dan tentangmu." Aku melanjutkan, tanganku bergetar saat mengeluarkan sebilah pisau tersembunyi. "Aku tidak pernah menyayangimu. Aku hanya memanfaatkanmu."

Pertarungan terjadi cepat dan berdarah. Di bawah cahaya bulan, kami berdansa dalam kematian. Aku menusuknya tepat di jantungnya, sama seperti ia menusuk hatiku bertahun-tahun lalu. Ia jatuh, matanya menatapku dengan kengerian dan penyesalan.

Di saat-saat terakhirnya, ia berbisik, "Kenapa, Wei? Kenapa?"

Aku berlutut di sampingnya, air mata mengalir di pipiku. Aku menatap matanya, membiarkan seluruh kebencian dan kepedihan selama ini tumpah ruah.

"Karena… cintaku padamu adalah kutukan… dan KAU MEMILIH KUTUKAN ITU, BUKAN?"

Dan kemudian, semuanya menjadi gelap.

Di bawah pohon sakura yang sama, tempat kami tumbuh bersama, aku terbaring di sampingnya, napasku semakin menipis. Aku tahu ajalku sudah dekat. Di saat-saat terakhirku, aku hanya bisa membisikkan satu kalimat, sebuah pengakuan yang terlambat: Aku menyayangimu, Jun, bahkan ketika aku membencimu.

You Might Also Like: Rekomendasi Skincare Lokal Dengan

OlderNewest

Post a Comment