(故事的印记)
Hujan turun di atas nisan marmer. Butiran air membasahi ukiran nama yang masih terasa asing di bibirku: "Lin Wei, 1998-2023." Umur yang terlampau singkat. Seperti mentari yang terbenam sebelum sempat menyinari seluruh ladang.
Aku, arwah Lin Wei, berdiri di sana. Bukan sebagai Lin Wei yang dulu; gadis ceria dengan senyum yang selalu menghiasi feed media sosialnya. Sekarang, aku hanyalah bayangan. Kabut tipis yang menempel di antara dunia hidup dan alam baka. Sebuah kehadiran yang tak diinginkan, namun tak bisa diusir.
Aku tahu, dia melihatku.
Setiap story Instagram yang kuunggah – kenangan pahit manis tentang kami – selalu dia saksikan. Centang biru kecil itu menyala, seperti api kecil di tengah kegelapan. Tapi dia tidak pernah membalas. Sunyi. Sepi. Sebuah jurang yang menganga lebar di antara kami.
Dulu, aku bodoh. Aku menyimpan perasaan ini rapat-rapat. Takut. Gengsi. Sekarang, semua itu terasa bagai debu. Penyesalan yang menghantuiku setiap malam. Bahkan kematian pun tak mampu membungkamnya.
Dulu, sebelum kecelakaan itu merenggut nyawaku, ada sebuah rahasia. Sebuah kebenaran yang mengganjal di tenggorokanku. Aku ingin mengatakannya, tapi terlambat. Sekarang, aku kembali. Bukan untuk balas dendam, bukan untuk menuntut keadilan. Aku hanya ingin dia tahu. Aku hanya ingin melepaskan beban ini.
Aku mengikutinya. Bayanganku menempel di belakangnya, tak terlihat oleh siapapun kecuali olehnya. Aku melihatnya tertawa bersama teman-temannya. Aku melihatnya termenung di depan jendela, menatap hujan. Aku melihatnya memandang fotoku di ponselnya, tanpa senyum.
Dia menyalahkan dirinya sendiri. Aku tahu itu. Aku bisa merasakan kepedihan yang memancar dari jiwanya. Dia pikir dia penyebabnya. Dia pikir jika dia mengatakan sesuatu, mungkin aku masih di sini.
Salah.
Kecelakaan itu murni kesalahan pengemudi truk. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Tidak ada yang bisa dia ubah. Tapi, bagaimana caranya aku mengatakan itu padanya? Bagaimana caranya seorang arwah berkomunikasi dengan yang hidup?
Aku mencoba. Aku membisikkan kata-kata lembut di telinganya. Aku mencoba menyentuhnya, tapi hanya udara yang kuraih. Aku mencoba menampakkan diri, tapi aku hanya bayangan yang menolak pergi.
Suatu malam, dia mengunjungi makamku. Dia membawa bunga lili putih, favoritku. Dia duduk di samping nisan, dan untuk pertama kalinya, aku melihat air mata membasahi pipinya.
"Lin Wei," bisiknya, suaranya bergetar. "Maafkan aku."
Aku berlutut di sampingnya. Aku ingin memeluknya. Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak menyalahkannya. Tapi, aku tidak bisa.
Tiba-tiba, angin bertiup kencang. Bunga lili bergoyang-goyang. Cahaya rembulan menembus awan, menerangi wajahnya. Dan di saat itulah, aku tahu. Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Aku menutup mata. Aku memusatkan seluruh energiku. Aku membayangkan kata-kata yang ingin kusampaikan. Kata-kata yang selama ini membelenggu jiwaku.
Aku tidak menyalahkanmu.
Aku membuka mata. Dan di depanku, dia tersenyum. Bukan senyum bahagia, tapi senyum lega. Senyum kedamaian.
Dia melihatku. Dia mendengarku. Akhirnya.
Bukan balas dendam yang kucari. Hanya kedamaian. Kedamaian untuk diriku sendiri, dan kedamaian untuknya.
Angin berhembus sekali lagi. Lebih lembut, lebih damai. Aku merasakan tubuhku semakin ringan. Aku tahu, inilah saatnya.
Aku menatapnya untuk terakhir kalinya.
Akhirnya, aku bisa pergi…
You Might Also Like: Agen Kosmetik Bimbingan Bisnis Online
Post a Comment