Absurd tapi Seru: Janji Yang Kuterjemahkan Jadi Pengkhianatan

Janji yang Kuterjemahkan Jadi Pengkhianatan

Kabut menggantung tebal di atas pegunungan Baihua, memeluk puncak-puncak bersalju dengan cengkeraman dingin. Malam itu, udara terasa lebih berat dari biasanya, seolah menanggung beban dosa-dosa yang belum tertebus. Di sebuah kuil terpencil, tersembunyi di balik reruntuhan dinasti yang terlupakan, dua jiwa beradu.

Li Wei, dengan mata setajam obsidian yang menyimpan badai tersembunyi, menatap dingin pada wanita di hadapannya. Mei Lan, kulitnya pucat bagai porselen retak di bawah cahaya lilin yang berkedip. Dulu, mata itu adalah mata yang membuatnya kehilangan akal, sumber kebahagiaan yang tak terhingga. Sekarang, hanya ada ketakutan dan penyesalan.

"Lima belas tahun," desis Li Wei, suaranya serak bagai batu yang bergesekan. "Lima belas tahun aku menunggu, Mei Lan. Menunggu janji yang kau ucapkan di bawah pohon sakura yang mekar itu."

Mei Lan menunduk, hela napasnya mengepul bagai asap dupa yang memenuhi ruangan. Dupa yang sama yang menemani sumpah pernikahan mereka, dupa yang kini menjadi saksi bisu pengkhianatan. "Aku... aku terpaksa, Li Wei. Keluarga... mereka mengancammu."

Li Wei tertawa sinis, tawa tanpa kehangatan, tawa yang menusuk jantung. "Mengancamku? Dengan apa? Nyawaku sudah menjadi milikmu sejak pertama kali kau tersenyum padaku. Kau tahu itu. Kau memilih kekayaan, Mei Lan. Kau memilih kekuasaan."

Di lantai kuil, di atas salju yang mencair menjadi lumpur merah, tergeletak sebilah pedang berlumuran darah. Darah ayah Mei Lan, seorang jenderal korup yang menjual negaranya demi keuntungan pribadi. Darah yang sama yang membuat tangan Li Wei gemetar, namun hatinya terasa tenang.

"Ayahku... dia melakukan kesalahan," bisik Mei Lan, air mata mengalir di antara asap dupa, membasahi wajahnya. "Tapi aku... aku mencintaimu, Li Wei. Aku selalu mencintaimu."

"Cinta?" Li Wei meludah mendengar kata itu. "Cinta adalah sumpah yang kau ucapkan di atas abu janji-janji kita. Cinta adalah darah yang menodai salju suci ini."

Ia mendekat, tatapannya menghunus bagai ribuan jarum. Di matanya, Mei Lan melihat pantulan dirinya sendiri, seorang wanita yang kehilangan segalanya. "Kau tahu, Mei Lan, aku belajar satu hal selama lima belas tahun ini. Kebencian bisa menjadi guru yang sangat baik. Ia mengajariku kesabaran. Ia mengajariku bagaimana membalas dendam dengan sempurna."

Tangan Li Wei terangkat, membelai pipi Mei Lan dengan sentuhan yang dulu begitu lembut. Sekarang, sentuhan itu terasa bagai pisau yang mengiris kulit.

"Aku tidak akan membunuhmu, Mei Lan. Kematian terlalu mudah untukmu."

Ia menarik tangannya dan berbalik, meninggalkan Mei Lan yang terisak di lantai kuil.

"Kau akan hidup, Mei Lan. Kau akan hidup dan menyaksikan seluruh kekayaanmu hancur menjadi debu. Kau akan hidup dan menyaksikan semua orang yang kau cintai menderita. Kau akan hidup... dan kau akan tahu bahwa semua ini adalah karena dirimu. Karena janji yang kau khianati."

Li Wei melangkah keluar kuil, meninggalkan Mei Lan dalam kegelapan. Malam itu, di tengah salju yang mulai turun kembali, ia merasa ringan. Balas dendamnya telah terlaksana.

Di balik punggungnya, suara jeritan Mei Lan menggema di antara pepohonan pinus yang membeku. Jeritan kepedihan dan penyesalan yang takkan pernah hilang. Jeritan yang akan menghantui malam-malamnya.

Namun, Li Wei tidak berhenti. Ia tahu, perjalanannya baru saja dimulai.

Setiap kali angin bertiup dari arah kuil itu, aroma dupa akan bercampur dengan bau darah, membisikkan nama Mei Lan dalam keheningan abadi...

You Might Also Like: Reseller Skincare Usaha Sampingan

OlderNewest

Post a Comment