Kaisar Itu Jatuh, Tapi Cintanya Tetap Menjerat Dunia
Awalnya, hanya ada Wang Lian. Seorang gadis dengan senyum semanis madu, hati seluas langit, dan cita-cita setinggi gunung. Lalu, datanglah Kaisar Zhao, dengan janjinya yang manis bagai arak terbaik, kekuasaannya yang memabukkan, dan cintanya yang membakar. Wang Lian menyerahkan segalanya. Mahkotanya. Hatinya. Bahkan, masa depannya.
Tapi cinta seorang kaisar, seperti pedang bermata dua. Ia bisa mengangkatmu ke puncak, atau menjatuhkanmu ke jurang terdalam. Wang Lian, sayangnya, merasakan jurang itu. Ia dituduh berkhianat, difitnah, dan dikhianati oleh orang yang paling ia cintai. Hancur. Kata itu saja tak cukup menggambarkan keadaannya. Ia bukan hanya patah, ia remuk redam.
Di penjara bawah tanah yang dingin dan gelap, Wang Lian merenung. Luka fisiknya tak sebanding dengan luka di hatinya. Air matanya telah habis. Kebencian, yang awalnya membara, perlahan meredup, digantikan oleh sesuatu yang lebih MENGERIKAN: ketenangan.
Bertahun-tahun berlalu. Kaisar Zhao, yang kini semakin kejam dan otoriter, nyaris melupakan wanita yang pernah ia cintai. Ia mengira Wang Lian sudah mati. Betapa salahnya ia.
Suatu malam, seorang wanita muncul di istana. Ia cantik, anggun, dan memancarkan aura yang tak bisa dijelaskan. Kulitnya seputih pualam, matanya sedalam samudra, dan senyumnya… senyum yang bisa membekukan darah. Itu adalah Wang Lian. Namun, ia bukan lagi gadis polos yang dulu. Ia telah menjelma menjadi bunga yang tumbuh di medan perang. Bunga yang mematikan.
Ia tidak berteriak. Ia tidak mengamuk. Ia tidak menuntut balas dengan amarah. Ia bergerak dengan tenang, bak penari yang lihai. Ia mengumpulkan sekutu, menyusun strategi, dan menusuk kelemahan rezim Kaisar Zhao dengan presisi yang menakutkan. Ia memanfaatkan cinta para pangeran yang haus tahta, ambisi para jenderal yang kecewa, dan dendam para pejabat yang disingkirkan.
Kaisar Zhao, yang semula meremehkannya, akhirnya menyadari bahaya yang mengancam. Ia mencoba menjebaknya, memenjarakannya, bahkan membunuhnya. Tapi Wang Lian selalu selangkah lebih maju. Ia seperti hantu, hadir di mana-mana, mempengaruhi segalanya, namun tak bisa disentuh.
Puncaknya, terjadi saat perayaan ulang tahun Kaisar Zhao. Wang Lian, dengan anggun, berdiri di hadapannya. Ia mengenakan jubah phoenix yang dulunya menjadi miliknya, jubah yang direnggut darinya. Ia tersenyum, senyum yang menyimpan rahasia kelam.
"Zhao," bisiknya, suaranya selembut sutra, namun setajam pisau. "Dulu, aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Kau menghancurkanku. Sekarang, giliranku."
Kaisar Zhao, yang telah kehilangan segalanya, hanya bisa menatapnya dengan tatapan kosong. Wang Lian mengangkat tangannya, memberi isyarat. Di saat yang sama, para pengawal istana yang telah disusupi oleh pengikutnya, berbalik melawan Kaisar Zhao.
Kaisar itu jatuh. Tahtanya hancur. Kekuasaannya lenyap. Tapi, cintanya pada Wang Lian… itu tetap menjerat dunia, sebagai pengingat akan kekuatan cinta yang bisa menjadi racun paling mematikan.
Wang Lian melangkah melewati mayat Kaisar Zhao, tidak menoleh ke belakang. Ia telah membalas dendamnya. Ia telah merebut kembali apa yang menjadi miliknya. Namun, ia tahu, perjalanannya belum selesai. Ia masih harus membangun kembali kerajaannya, memulihkan kehormatannya, dan menemukan kedamaian yang telah lama hilang.
Dan saat ia berdiri di puncak tangga istana, di bawah cahaya rembulan yang pucat, ia menyadari satu hal: Bahwa takdir sesungguhnya adalah menciptakan mahkotamu sendiri, bukan mengenakan mahkota orang lain.
You Might Also Like: 50 Kelebihan Paket Skincare Lokal
Post a Comment