Hujan Seoul di musim gugur terasa begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Sama dinginnya dengan tatapan mata Lan Wangji saat aku pamit. Tanpa air mata. Tanpa kata-kata. Hanya kebisuan yang lebih tajam dari silet.
Dulu, aku terpesona dengan ketenangannya. Senyumnya yang jarang terlihat, bagai mentari di balik awan mendung, selalu berhasil membuat jantungku berdebar. Pelukannya, sehangat perapian di musim dingin, selalu berhasil menenangkan jiwaku. Dulu.
Dulu, aku bodoh.
Aku menelan semua janjinya mentah-mentah. Janji abadi yang terukir indah di atas kertas mahal, diiringi alunan musik klasik yang megah. Aku tertipu. Janji itu ternyata belati, yang kini menancap dalam, membusuk perlahan.
Aku, Wei Wuxian, pewaris tunggal Wei Corporation, rela menyerahkan segalanya demi cinta. Bodoh. Sungguh bodoh. Aku dibutakan oleh pesona Lan Wangji, anak yatim piatu yang kuselamatkan dari jalanan. Aku mengangkatnya, menyekolahkannya, memberinya segalanya. Dan dia membalasnya dengan menikahi adikku, Wei Ying.
Ironis, bukan?
Selama tiga tahun, aku menyaksikan kebahagiaan mereka dari kejauhan. Senyum Lan Wangji kini bukan lagi mentari yang langka, melainkan lampu neon yang menyilaukan. Pelukannya kini bukan lagi perapian yang hangat, melainkan bara api yang membakar hatiku.
Aku tahu. Aku tahu mereka berselingkuh di belakangku. Aku tahu Wei Ying mengandung anak Lan Wangji. Aku tahu semua kebusukan itu. Tapi aku memilih diam. Aku memilih menghilang. Aku menjual seluruh sahamku di Wei Corporation, pergi ke Eropa, dan membangun kerajaan bisnisku sendiri.
Lima tahun berlalu. Wei Wuxian yang dulu lemah dan bodoh telah mati. Kini, hanya ada Wei Ying, seorang pebisnis yang kejam, tanpa ampun, dan sangat kaya. Aku kembali ke Seoul, bukan untuk membalas dendam dengan darah, melainkan dengan sesuatu yang lebih menyakitkan: penyesalan.
Aku membeli Lan Corporation. Aku menghancurkannya perlahan, sistematis, dan tanpa ampun. Aku membuat Lan Wangji kehilangan segalanya: kekayaan, reputasi, dan yang terpenting, istrinya. Wei Ying meninggalkannya, membawa serta semua uang dan anak haram mereka.
Aku menyaksikan kehancurannya dari kejauhan, tanpa senyum. Tanpa air mata. Hanya ada perasaan hampa yang memenuhi dadaku. Ia tak pernah menangis saat aku pergi, tapi aku tahu, dunia menangis bersamanya saat ini. Dunia yang dulu kupikir akan selalu mendukungnya.
Di balik semua kekacauan ini, ada secarik surat di meja kerjaku. Surat dari Wei Ying, sebelum dia pergi: "Maafkan aku, Kak. Aku tidak pernah mencintai Lan Wangji. Aku hanya mencintai kekuasaanmu. Dan sekarang, kau telah mengambilnya kembali."
Aku tertawa hambar. Cinta dan dendam, rupanya, lahir dari tempat yang sama.
You Might Also Like: 0895403292432 Produk Skincare
Post a Comment