Ini Baru Cerita! Bayangan Yang Menuntun Ke Jurang

Bayangan yang Menuntun ke Jurang

Malam itu MENYERAMKAN. Salju turun tanpa henti, menutupi seluruh Kota Terlarang dengan lapisan putih yang mematikan. Di tengah badai, berdiri seorang wanita, Lin Mei, jubah merahnya terciprat darah yang membeku. Tatapannya setajam belati, menghunus ke arah istana megah di depannya.

Dupa mengepul di kuil leluhur, aromanya pahit bercampur dengan isak tangis. Di dalam, Kaisar Chen, pria yang pernah menjadi cintanya, berlutut di depan altar. Wajahnya pucat pasi, diterangi cahaya lilin yang menari-nari. "Maafkan aku, Mei," bisiknya, suaranya bergetar. "Aku… aku tidak punya pilihan."

Lin Mei tersenyum pahit. "Tidak punya pilihan? Kata-kata itu terasa ringan di lidahmu, Kaisar. Kau mencuri NYAWAKU, Chen. Kau membunuh keluargaku, demi tahta yang kau dambakan."

Kilasan masa lalu menghantamnya bagai ombak. Janji cinta di bawah pohon sakura yang berguguran, tawa renyah yang kini hanya menjadi gema menyakitkan, dan pengkhianatan KEJI yang merenggut segalanya. Ingatannya bagai pecahan kaca, menusuk-nusuk hatinya tanpa ampun.

Darah di salju, air mata di antara dupa, janji di atas abu. Itulah yang tersisa dari cinta mereka.

"Kau ingat malam itu, Chen?" Lin Mei berkata, suaranya tenang, menakutkan. "Malam ketika kau bersumpah akan mencintaiku selamanya? Sumpah yang kau ucapkan di bawah bulan purnama, disaksikan oleh dewa dan iblis?"

Kaisar Chen tidak menjawab. Kepalanya tertunduk semakin dalam.

Lin Mei melangkah maju, setiap langkahnya terasa berat, dipenuhi dendam yang membara. "Dendam ini… telah menjadi satu-satunya alasan aku bertahan. Dendam ini… adalah api yang menghangatkanku di tengah dinginnya kematian."

Dia mengangkat tangannya. Dari balik jubahnya, muncul sebilah pisau perak yang berkilauan mematikan.

"Balas dendam bukan solusi," kata Kaisar Chen lirih, tanpa mengangkat wajahnya.

Lin Mei tertawa, tawa tanpa kehangatan, tawa yang membuat bulu kuduk meremang. "Solusi? Siapa bilang aku mencari solusi? Aku mencari KEADILAN."

Pisau itu melayang turun.


Beberapa jam kemudian, fajar menyingsing, mewarnai langit dengan warna merah darah. Istana sunyi senyap. Di kuil leluhur, Kaisar Chen tergeletak bersimbah darah. Di sampingnya, Lin Mei berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi.

Dia menatap langit. Dendamnya telah terbalas. Tapi kenapa… kenapa hatinya masih terasa hampa?

Dia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan istana yang telah menjadi saksi bisu tragedi cintanya. Di belakangnya, seorang kasim tua berlutut di samping jenazah Kaisar.

"Yang Mulia," bisik kasim itu, suaranya bergetar. "Surat wasiat Yang Mulia…"

Dengan tangan gemetar, kasim itu membuka gulungan sutra di samping jenazah Kaisar. Di sana, tertulis sebuah kalimat dengan tinta merah:

"Siapa pun yang menemukan surat ini… jaga baik-baik bayanganku…"

You Might Also Like: Skincare Alami Untuk Kulit Sensitif

Post a Comment